THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

ID Hostinger

Hosting Gratis

About Me

Jumat, 23 Januari 2009

israel bayar mata - mata untuk mengungkap terowongan


Gambar pada 1 Agustus 2007 memperlihatkan seorang warga Palestina penggali terowongan mengenakan topeng guna menutupi identitasnya saat memindahkan pasir dari terowongan di Rafah, kawasan selatan Jalur Gaza. Terdapat ratusan terowongan yang menghubungkan Jalur Gaza dengan wilayah Mesir, yang digunakan untuk menyelundupkan bahan makanan dan keperluan sehari-hari

Oleh Trias Kuncahyono dan Mustafa Abd Rahman

Pertemuan kami dengan Ismail tidak sengaja. Petang itu, kami tengah berada di Bukit Zaitun—begitu kami menyebut bukit yang ada di sebelah kanan Pintu Gerbang Rafah, Mesir—untuk melihat sepak terjang pesawat tempur Israel mengebom wilayah Rafah, Jalur Gaza, Palestina.

Ismail (38), lelaki Badui yang tinggal di sekitar bukit itu, tiba-tiba menyapa kami, ”Assalamualaikum,” dan mengulurkan tangannya. Kami pun menjawab dengan salam yang sama. Dan, kami pun, seperti layaknya orang-orang di Timur Tengah saat bertemu, lalu berjabat tangan dan kemudian berpelukan.

Lelaki Badui bertubuh kecil itu begitu ramah. Ia lalu bercerita tentang gempuran pesawat tempur Israel. Dari sinilah pembicaraan kami masuk ke soal terowongan rahasia yang ada di sepanjang tembok perbatasan Mesir-Jalur Gaza. Terowongan inilah yang dipersoalkan Israel dan dianggap sebagai jalan untuk menyelundupkan senjata oleh Hamas.

Selama beberapa hari kami mencari penduduk setempat yang mau berbicara dan menunjukkan di mana terowongan itu berada, tetapi selalu kesulitan. Sebab, biasanya orang tak mau bicara soal terowongan, apalagi menunjukkan. Entah mengapa. Karena itu, ketika kami menyebut kata ”terowongan”, ia memperlihatkan wajah kaget, lalu tertawa.

”Penduduk di sini sudah tahu bahwa ada banyak terowongan bawah tanah di sepanjang perbatasan Jalur Gaza-Mesir. Namun, tidak ada yang tahu berapa persisnya atau kira-kira jumlahnya,” kata Ismail.

”Terowongan bawah tanah itu biasanya berada di dalam rumah di sisi wilayah Jalur Gaza dan menyambung ke dalam rumah di sisi wilayah Mesir. Galian terowongan itu kira 15 hingga 20 meter ke bawah dan panjangnya sekitar 300 meter hingga 500 meter,” ungkap Ismail.

Menurut dia, keberadaan terowongan bawah tanah itu hanya diketahui kalangan sangat terbatas, misalnya kalangan keluarga saja. Ia menjelaskan, antara penduduk di Rafah-Mesir dan Rafah-Palestina yang hanya dipisah dinding perbatasan banyak yang masih punya tali persaudaraan.

”Sering mereka yang masih saudara itu membuat terowongan bawah tanah antara rumah mereka yang berada di sisi wilayah Jalur Gaza dan wilayah Mesir. Dan, yang tahu terowongan itu tentu hanya terbatas di kalangan anggota keluarga mereka dan yang menggunakan terowongan itu juga hanya anggota keluarga itu,” ungkap Ismail sambil menambahkan, bisa dikatakan bahwa terowongan yang mereka miliki itu adalah terowongan keluarga.

Karena itu, lanjutnya, tidak mungkin aparat keamanan, baik Mesir maupun Israel, mampu menghancurkan terowongan bawah tanah itu, atau siapa pun, karena terowongan bawah tanah itu sering menjadi rahasia keluarga atau kalangan penduduk yang sangat terbatas.

Kalau kemudian ada terowongan yang berhasil dihancurkan aparat keamanan, itu pasti ada yang membocorkannya. Ismail lalu menuduh para mata-mata Israel yang berkeliaran di Rafah yang memberi informasi soal terowongan itu.

”Saya dengar ada mata-mata Israel mendapat imbalan 1.000 dollar AS setiap dia memberi informasi baru. Kebanyakan dari mata-mata itu adalah warga Palestina sendiri,” kata Ismail.

Tak ada senjata

Ismail juga membantah keras jika terowongan itu digunakan untuk menyelundupkan senjata. Menurut dia, terowongan bawah tanah itu hanya menyelundupkan bahan makanan, minuman, dan rokok dari Mesir ke Jalur Gaza, terutama sejak blokade Israel atas Jalur Gaza.

Petang itu kami berpisah dengan sedikit informasi tentang terowongan dari Ismail. Kami berjanji bertemu lagi di tempat yang sama setelah sembahyang Jumat esok harinya.

Esok harinya, sebelum bertemu Ismail, kami putar-putar di kota Rafah, Mesir. Hari itu hari Jumat. Kota seperti kota mati karena kehidupan dan aktivitas masyarakat baru mulai setelah sembahyang Jumat.

Rafah tampak begitu kotor. Sampah-sampah bertebaran di jalan-jalan yang berlubang-lubang. Bangunan di kota itu pun lusuh dan berdebu. Bila ada mobil lewat, debu beterbangan.

Pohon-pohon jeruk di sisi kanan kiri jalan yang buahnya begitu lebat dengan warna kuning ranum tidak mampu menghidupkan suasana Rafah. Keranuman jeruk itu tetap tak mampu mengalahkan kelusuhan kota. Daun-daun pohon zaitun yang lebat dan semestinya berwarna hijau segar berubah kelabu berselimutkan debu.

Tidak menarik sama sekali, kota itu. Yang menarik adalah di setiap mulut jalan menuju tembok perbatasan dijaga tentara dan polisi. Di mulut jalan dibangun barikade dan, kadang, truk mereka pun diparkir di mulut jalan. Beberapa barikade juga dibangun di jalan utama selebar enam meteran. Setiap kendaraan yang melintas dihentikan dan diperiksa.

Di kota yang lusuh itulah kami bertemu Walid, bocah lelaki usia 13 tahun. Ini pun pertemuan kebetulan. Saat itu kami tengah berhenti di depan sebuah rumah karena mendengar deru pesawat tempur Israel. Kami keluar dari mobil, ingin tahu apa yang akan terjadi.

Kala itulah, dari atap sebuah rumah ada seorang anak kecil—yang belakangan kami tahu bernama Walid—berteriak kepada kami dan mengajak kami naik ke atap rumahnya. Kami pun naik ke atap rumah berlantai tiga milik orangtua Walid. Ibu Walid diam saja, hanya melihat dengan sorotan mata heran ketika kami masuk rumahnya dan naik tangga yang menuju ke atap. (Trias Kuncahyono/ Mustafa Abd Rahman, dari Rafah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar